Ketika saya memutuskan untuk merintis karir kepenulisan saya dengan menulis di blog pribadi, saya mulai menuliskan apa yang menjadi dilema di pikiran saya. Jika sebelumnya hanya liar di pikiran, kemudian kadang hilang dan tak datang lagi, tapi kadang juga dia selalu datang tak mau hilang.

Pagi ini yang datang di pikiranku adalah mengenai beberapa pernyataan yang pernah saya dengar dan saya baca. Dia terlibat dilema dengan apa yang saya rasakan bahkan cenderung yang ingin saya lakukan.

Dulu. Ketika saya berada dalam suasana hati yang suram, saya membaca sebuah buku yang isi diantaranya memberikan tips untuk berhenti menulis status “galau”, mendengarkan lagu “galau”, mengikuti akun-akun “galau”, dan semacamnya. Katanya, jika ingin berubah lebih positif maka harus memperhatikan apa yang kita baca, yang kita dengar. Karena itu akan mempengaruhi kita secara tidak langsung dalam berpikir, berbicara, dan berperilaku.

Kemudian yang selanjutnya adalah tentang yang saya dengar. Ini terjadi di akhir tahun 2017. Seingat saya bulan november. Ketika itu sedang membahas mengenai teknik marketing. Online marketing atau lebih sering disebut internet marketing. Katanya, kita membutuhkan membangun personal branding. Baik offline maupun online. Karena hari itu fokus bahasannya adalah online maka yang disarankan olehnya adalah membangun personal branding online. Yang artinya membangun branding dari akun-akun media sosial kita. Katanya lagi, untuk meningkatkan tingkat kepercayaan calon pelanggan/pembeli maka disarankan untuk membersihkan akun-akun kita dari semua status “galau” yang pernah ditulis, dan tidak lagi menulis status “galau”.

Pikiran saya pagi ini seperti tidak menerima semua itu. Lebih tepatnya tidak menerima sepenuhnya. Sepertinya ini karena saya membaca buku yang membahas tentang kisah hidup dan karya “kahlil gibran”. Mengapa seolah “galau” itu tidak sejalan dengan kredibilitas marketer”. Mengapa mereka menyebut bentuk dari ekspresi perasaan itu galau? Saya cenderung lebih suka menyebutnya romantisme. Mengapa “romantisme” seolah tidak sejalan dengan personal branding dari seorang marketer? Adakah yang bisa membantu saya menjawabnya. Karena saya belum menemukan jawabannya.

Jujur. Saya juga seorang marketer. Tapi masih amatiran. Mungkin karena masih amatir itu tadi, maka saya mempertanyakan “galau” yang lebih suka saya sebut sebagai “romantisme” tadi seolah tidak bisa sejalan dengan kredibilitas marketer. Seolah keduanya saling berperang. Tak bisa disandingkan didalam satu pribadi. Seorang dengan sisi “romantis” yang berprofesi sebagai marketer. Atau seorang marketer yang “romantis”.

Jika saja “kahlil gibran masih ada, mungkin akan kutulis email untuk menanyakan padanya. Atau diantara kalian ada yang mengenal “kahlin gibran” di zaman now? 




sumber gambar : https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSYoT3DFrdpoXtopYte4oyyTXgLeqtCjg4TYGT8C_iy7rc5NSwskQ