Menulis dan bermimpi menjadi penulis sudah timbul tenggelam sejak pertama kali aku dikenalkan pada puisi dan novel-novel harga 5000-an yang kubeli dengan menabung uang saku selama satu minggu.

Rahasianya adalah banyaknya uang saku tiap harinya, aku tentukan sendiri. Ibu memperbolehkan anak-anaknya untuk mengambil uang sakunya sendiri di balik kasur tidur.

Meski begitu, uang saku paling banyak yang kubawa saat itu adalah lima ribu.

Uang lima ribu di tahun 2008 tentu masih bisa mendapatkan berbagai macam makanan. Apalagi sekolahku berada di desa yang segala bahan pokok masih bisa diusahakan dari kebun belakang rumah. 

Jika uang lima ribu itu dijadikan uang saku di tahun 2022 sekarang, aku masih bisa mendapatkan satu bungkus es nutrisari jeruk peras untuk mendinginkan kepala yang selalu berpikir tentang pendapat orang di hari lalu.

Menjadi penulis berarti aktivitas yang dilakukan adalah menulis. 

Dan, aku masih terlalu sibuk dengan melihat lalu ketakutan pada rencana masa depan yang terus berganti tiap harinya.

Mencari pembenaran atau dukungan dari teman bahwa semua akan baik-baik saja. 

Mencari penguatan bahwa aku bisa menjadi lebih baik lagi. Bahwa aku punya hal baik yang bisa menolongku hidup di masa depan. 

Semua itu tidak akan pernah cukup, jika aku masih terus kalah dan menuruti bisikan untuk kembali tidur, karena masa depan terlalu menakutkan, dan aku tidak bisa bergerak bahkan hanya untuk menjawab sapaan ibu penjual nasi uduk. 

Cerita demi cerita yang terbengkalai di paragraf pertama terkadang ku baca ulang. Hanya untuk lupa kembali pada arah cerita.

Tidak apa-apa. Satu demi satu. Kembali dan kembali untuk mengingat, "kamu bisa menulis dan bahagia."

Photo by Abolfazl Ranjbar on Unsplash