SEBUAH PERJALANAN BERTEMU DAN BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI

Berdamai dengan diri sendiri bukan lagi topik obrolan atau tulisan yang jarang ditemui. Mungkin, lebih mudah menemukan topik ini dibanding mencari cinta lama yang sudah entah berubah rupa menjadi apa.

Di usiaku yang genap 30 tahun, aku secara sadar mengajak diri sendiri untuk berani bertemu dan berdamai dengan diri sendiri. Kalimatnya sangat klise, bukan?

Tidak apa-apa. Terkadang kita butuh hal-hal klise dalam hidup ini. Apalagi ternyata hal-hal klise tersebut memberi warna baru dalam hidup kita. Memberi energi baru untuk melangkah lagi menjalani hidup.

Photo by Elias Maurer on Unsplash

 Hidup seperti apa yang ingin kamu jalani?

Diri seperti apa yang ingin kamu ajak untuk menjalani hidup?

Ada banyak skenario kehidupan yang ingin ku jalani. Skenario-skenario yang selalu berubah karena tidak pernah ada usaha yang benar untuk mewujudkannya. Skenario yang lebih senang menjadi tulisan-tulisan cringe ketika dibaca ulang. Karena si empunya keinginan terlalu lemah untuk skenario yang terlalu heroik.

Kalau kata motivator lain, skenario itu tidak achieveable

Skenario yang ditulis atas dasar kondisi ideal yang ingin dicapai tanpa memperhatikan keadaan dan kemampuan diri sendiri. 

Hasilnya apa? Tidak ada. Selain, rasa kecewa dan makin merasa diri sendiri tidak berguna.

Sekian banyak skenario yang hanya berakhir menjadi tulisan cringe itu hanya menjadi kenangan yang sungguh sangat malu untuk diceritakan.

Tapi, di hidupku hari ini. Aku belajar menceritakan hal-hal tersebut sebagai bentuk berdamai dengan diri sendiri. 

Aku yang pernah melakukan hal-hal memalukan itu juga adalah aku yang sekarang mencoba bercerita dengan lebih tenang tentang harapan yang sedang aku perjuangkan. 

Kata orang, hidup di masa lalu itu akan membuat orang penuh penyesalan, hidup di masa depan itu akan membuat orang penuh kecemasan. Kata orang, kita harus hidup di hari ini. Hidup di masa sekarang. 

Kataku, tidak semua kata orang itu benar. Pun, tidak semua kata diri sendiri itu benar. 

Memilih kebenaran mana yang bisa diyakini membutuhkan keberanian untuk mencoba satu demi satu dari sekian banyak kebenaran itu.

Perjalanan mencoba satu demi satu kebenaran itu kusebut dengan perjalanan bertemu dan berdamai dengan diri sendiri. 

Kebenaran tentang apa yang mampu kita lakukan. Bukan, kata orang kita mampu apa, bukan kata masa lalu kita bisa dimana. Tapi, kita coba hal-hal tersebut. Apakah masih menjadi keahlian kita, atau kita sudah tidak mampu lagi. 

Kebenaran tentang perasaan-perasaan tersembunyi dan tersebar rapi dalam ingatan. Perasaan tentang teman, tentang orang tua, dan tentang diri sendiri. 

Mungkin teman yang dulu sudah tidak lagi bisa berbicara dengan seru, karena manusia berubah. Mereka berubah. Kita berubah. Dia berubah. Aku berubah. Dan, kita tidak lagi mau mengenal orang-orang baru dari masing-masing kita. 

Tentang orang tua yang bukan makhluk suci tanpa salah. Jika anak tidak mampu memenuhi harapan orang tua. Maka, ada juga orang tua yang tidak bisa memenuhi harapan anak. Dan, tentang hubungan orang tua dan anak yang sebisa mungkin dijaga dengan baik, bahkan jika harus berjarak waktu dan jalanan kota. 

Tentang diri sendiri yang tidak pernah hidup sesuai kata hati sendiri. Lebih suka mendengar kata orang yang manis, juga pahit. 

Bertemu dan berdamai dengan diri sendiri adalah perjalanan yang harus ada keberanian disana. Karena tidak hanya jalanan terang penuh harapan, tapi juga jalanan gelap penuh keraguan, jalanan dingin penuh kecemasan. 

Semoga, aku, kamu, dan kita semua bisa memulai perjalan ini dengan berani. 

Selamat pagi, untukmu yang perlahan tahu dan mulai mendengar kata hati.

Posting Komentar

0 Komentar