Ternyata, Aku Masih Selalu Terjebak Dalam Pikiran

Sebuah perjalanan membeli menu yang diniatkan untuk sarapan pagi membawaku dalam perjalanan percakapan dengan diri sendiri. 

 Photo by dominik hofbauer on Unsplash

Aku yakin banyak yang melakukan itu. Dalam kelelahan pulang kerja atau kuliah, menjadikan perjalanan fisik berjalan secara otomatis. Tubuh kita seperti tahu arah jalan pulang. Karena tubuh sudah terbiasa melakukan itu. Berulang-ulang mengenali jalanan mana saja yang selalu dilewati menuju rumah. 

Terkadang, hal tersebut dibarengi dengan pikiran yang liar pergi entah kemana. Bisa kembali pada ingatan percakapan warung kopi bersama mantan. Bisa berkelana pada harapan-harapan masa depan. Bisa juga berbincang dengan diri sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah habis untuk dijawab.

Pikiranku malam ini membawaku pada kenyataan aku yang terjebak dalam pikiran. 

Hari ini, teman yang jauh memberi kabar akan datang ke Jogja. Katanya, akan mengikuti seleksi masuk studi lanjut. Perasaanku mendengar itu gembira. Turut senang. 

Malam harinya aku memproses segala informasi yang ada dan yang ku ingat hari itu. Teman yang jauh ini selalu memberikanku kejutan-kejutan tentang hidupnya. Tidak hanya dalam kabar yang baik. Ada juga cerita yang tidak baiknya.

Malam ini, aku menyadari. Teman yang jauh ini mungkin sama sepertiku dalam hal masih belum menjadi orang yang kami harapkan masing-masing. Tapi, dia tidak pernah hanya berhenti dalam pikiran. Semua yang dia harapkan atau pikirkan selalu diusahakan ke dalam tindakan. 

Dia ingin kerja. Dia menyebar CV ke berbagai perusahaan tiap harinya. Dia merasa tidak cocok dengan value perusahaan, dia keluar dari sana. Dengan keyakinan dia tahu value dirinya. Akan ada perusahaan lain yang bisa setara dengan value dan kompetensinya. 

Apakah teman yang jauh itu terdengar sangat gigih berjuang? Terdengar tidak pernah ada awan mendung dalam hidupnya? Seperti yang kusebut sebelumnya bahwa dia tidak berhenti di ide pikiran saja. 

Teman yang jauh ini ternyata juga pernah secara sadar menyakiti diri sendiri. Pernah dengan sadar minum cairan alkohol 70%. 

Hal tersebut yang membuatku iri padanya. Teman yang jauh ini bisa hidup dan bertindak untuk hidupnya. She always end up doing a thing for her life.

Sedangkan aku?

Selalu tenggelam dalam ide, pikiran, harapan. Tiap berganti hari, selalu saja menghabiskan waktu mengasihani diri sendiri. I always end up doing nothing.

Bahkan, hanya untuk mencuci baju saja. Badan ini terasa berperang dengan pikiran yang sudah terbiasa diam tenggelam. 

Dua hari lalu, ada jadwal yang harus dihadiri. Jangan tanya bagaimana aku menyiapkan diri sendiri. Bahkan, dari malam hari aku sudah menghitung waktu perjalanan, kemungkinan selesai acara di pukul berapa. 

Terdengar sangat siap ya? Itu adalah bentuk aku menyiapkan mental untuk keluar dari kamar dan diri sendiri. Menghadapi orang lain, melewati jalanan, merasakan terangnya cahaya matahari.

Di pagi hari ketika aku harus berangkat, skenario dan alasan yang bisa dijadikan untukku tidak jadi berangkat muncul beruntun. Badan terasa berat. Nafas terasa pendek. 

Kemudian, aku perlu secara sadar mengajak diri sendiri bahwa hidup tidak pernah tentang malas dan berdiam diri. 

Hidup adalah tentang mengajak diri sendiri untuk tetap bangun pagi, merasakan terang cahaya matahari. Berdoa, dan berusaha apa yang bisa diusahakan. 

Sebuah perjalanan mengingatkan diri sendiri bahwa hidup selalu ada plot twist yang nikmat untuk diceritakan di akhir hari.

Selamat malam, dari Kota yang kata orang asyik untuk mengenangmu

Sepertinya, jarak dan waktu tidak berpihak padaku yang masih kesulitan membawa harapan hidup di tiap pagi yang baru

Posting Komentar

0 Komentar