BOLEHKAH MENYAMAKAN STANDAR KITA PADA ORANG LAIN?

Selamat Siang, Boi.

Jadi, kemarin saya melihat satu video sebuah acara TV Korea Selatan. Nama acaranya "battle trip". Saya sudah tahu acara ini sejak...ya..mungkin satu atau dua bulan lalu. Tapi tidak mengikuti keseluruhan. Hanya episode yang ada aktor-idol yang saya tahu saja. 

Saya tertarik menonton lagi kemarin karena tempat tujuannya. You know where? Bandung, Jawa Barat. Video lengkapnya ada di yutub. Silakan nonton kalo tertarik mengenai bagaimana orang luar negeri atau respon mereka mengenai salah satu kota di Indonesia itu.

Yang akan saya bahas disini bukan tentang reaksi mereka atau bagaimana Bandung layak menjadi kota tujuan wisata. 
Jadi, di acara ini dibahas sampai biaya perjalanan, harga tiket masuk, harga makanan. Intinya adalah berapa banyak uang yang dikeluarkan selama perjalanan karena ini juga menjadi salah satu pertimbangan bagi traveler kan ya?

Ada satu scene yang menjadi awal ide saya ingin menulis ini. Adalah scene dimana artis tersebut membeli tiket bus dari bandara Jakarta menuju Bandung. Harga yang dalam rupiah dikonversikan ke dalam nilai uang won (mata uang korea selatan). Artis dan panelis yang menonton tayangan itu kaget karena harga itu masuk ke dalam kategori murah bagi mereka. 

Selain scene pembelian harga tiket, adalagi scene ketika membeli makanan. Harga makanannya juga menurut mereka masuk dalam kategori murah. Bahkan, ada salah satu panelis yang mengatakan untuk banyak makan daging sapi ketika ke Indonesia karena harganya murah dan di Korea Selatan harganya mahal. 

Disinilah saya ingin menyampaikan apa yang muncul dalam pikiran saya ketika menonton dan mendengar percakapan mereka tentang perjalanan ke Bandung itu dan biaya yang dihabiskan. 

Bagi mereka, harga yang ada di Indonesia itu sangat murah. Ini karena ketika mereka menghitung murah dan tidaknya itu harga rupiah tadi dikonversikan ke dalam nilai uang mereka. Harga 50.000 rupian untuk satu porsi makanan menjadi murah bagi mereka. 

Kondisi seperti ini yang dimaksud dengan tidak menyamakan standar kita pada orang lain atau sebaliknya. Kita disarankan untuk lebih fokus pada standar diri kita sendiri. Karena standar diri kita yang rendah bisa jadi tinggi untuk orang lain, juga sebaliknya. 

 Photo by Réka Mátyás on Unsplash

Dan, untuk  mengatakan standar orang lain itu tinggi atau rendah, sebaiknya kita menggunakan kacamata mereka juga. Akan canggung rasanya jika kita mengatakan harga daging sapi di Indonesia lebih murah daripada di korea ketika standar murah dan mahalnya itu dilihat dari nilai uang yang dikeluarkan dan itu adalah uang yang nilai tukarnya berbeda. 

Akan canggung rasanya ketika kita mengatakan "bahagia adalah pilihan" pada orang yang sedang berjuang dengan depresinya. Dan, orang yang mengatakan itu bahkan memahami depresi saja tidak. 

Akan canggung rasanya ketika mengatakan "IPK 3,7 itu tidak tinggi" pada orang yang bahkan sudah tidak mempedulikan IPK, karena baginya lulus itu lebih penting daripada mendapat predikat cumlaude.

Akan canggung rasanya ketika kita mengatakan "kita harus melek politik" pada orang yang hidupnya seputar harga beras dan bayaran sekolah anaknya, yang bahkan melihat presidennya dari dekat hanya ketika coblosan itu. 

Percayalah. Kita semua hidup dalam standar masing-masing. Mungkin dari sekian banyak standar tadi ada yang sama. Tapi yang sama itu juga tetap akan berbeda. Dan, yang berbeda tidak perlu dipaksakan sama. Yang berbeda tetaplah berbeda. Kita hanya perlu untuk melihatnya berbeda. Tidak perlu berusaha keras untuk melihatnya sama. Tidak akan ketemu yang sama itu. Ketika kita sudah bisa melihatnya berbeda, maka selanjutnya bilang sama orang yang duduk disampingmu, "kita memang berbeda". Sudah, sampai disitu saja. 
 

Posting Komentar

1 Komentar