Menikmati Kesendirian, Meresapi Kesepian, dan Merangkul Kesedihan

Menikmati Kesendirian

 

Photo by Alexander Mass on Unsplash

Semua ada masanya. Seperti halnya rasa lapar yang muncul di jam-jam tertentu. Bisa karena sudah dibiasakan makan di waktu tersebut, atau itu juga bentuk alarm tubuh membutuhkan asupan. Bisa jadi juga rasa lapar adalah bentuk pengalihan dari beban pikiran yang sedang datang. Tapi, rasa lapar ini tentunya tidak sepanjang hari dirasakan. 

Semua ada masanya. Beberapa orang mendapatkan pekerjaan segera setelah lulus kuliah. Beberapa lagi berjuang menyebar lamaran hingga tidak terhitung jumlah map yang dibeli, tidak terhitung jumlah email yang menumpuk di kotak terkirim. 

Semua ada masanya. Beberapa orang berkeinginan menikah di usia 20-an. Beberapa orang memilih menikah di usia 30-an. Beberapa orang memilih menikmati romantisme bersama pasangan. Beberapa orang menikmati kesunyian bersama diri sendiri. Menikmati kesendirian dan segala yang mengikuti.

Menjadi sebuah tantangan untuk dijalani, bahkan menjadi pilihan tidak normal ketika hidup di masyarakat yang mayoritas berpasangan. Orang normal itu ya menjalani hidup seperti pada umumnya. Lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, punya anak, meninggal. Begitu seterusnya.

Orang yang tidak menjalani hidup seperti pada umumnya jadi tidak normal dilihat oleh masyarakat. Jangankan yang memilih tidak menikah, yang lulus kuliah lama dilihat tidak normal. Yang menikah tapi belum mendapat anak di tahun pertama pernikahan akan jadi manis di mulut orang-orang. Yang bersangkutan baru saja lewat, asal punggungnya sudah terlihat, segera saja semua asumsi dan pertanyaan akan keluar dengan lancar sekali. 

Aku yang memilih menikmati kesendirian dan hidup di masyarakat yang semua orang berpasangan bisa jadi juga menjadi buah bibir manis di tiap percakapan. 

Tapi, apa mau dikata. Yang bisa aku lakukan hanya "kabur" dan memulai jalan dan cerita hidup sendiri. Yang perlu aku pastikan adalah aku masih hidup dengan aturan Allah. 

Jangan ceramahi tentang menikah adalah menggenapkan separuh agama atau menikah adalah sunah Rasulullah. Menikah itu memiliki hukum yang kontekstual. Aku rasa aku tidak memiliki validitas dan reliabilitas untuk menjelaskan mengenai hukum itu. Silakan bertanya pada pakar hukum agama yang bisa kamu percayai. Hanya saja jangan gunakan pengetahuan kamu untuk menghakimi pilihan hidup orang. 

Tugas kita itu saling mengingatkan bukan saling menghakimi. Semoga kamu mengerti perbedaannya. 

 

Meresapi Kesepian 

 

Photo by Eugene Golovesov on Unsplash

Setiap pilihan ada konsekuensi bawaannya. Seperti halnya rasa lapar yang membawa kita pada tindakan mencari makanan, dan makan akan membuat kita merasa kenyang. 

Setiap pilihan ada konsekuensi bawaannya. Seperti halnya memilih melanjutkan kuliah akan membawa pada segala tugas akademik dan tekanan serta kebanggaan bahkan ada juga kesombongan yang membayangi. Setiap ilmu yang dipelajari diminta pertanggung jawabannya dan dituntut kebermanfaatannya. Meski hanya pada dan untuk diri sendiri. 

Setiap pilihan ada konsekuensi bawaannya. Memilih menikah membawa pada segala hal yang ada di dalamnya. Berbagi kebahagian juga kesedihan, kemarahan juga ketenangan. Pun, memilih sendiri membawa pada rasa sunyi dan sepi, tapi juga merdeka atas pilihan sendiri. 

Bukan berarti menikah akan membelenggu dan menggadaikan kemerdekaan pribadi. Apalagi jika ternyata orang yang dinikahi menjunjung tinggi demokrasi dan emansipasi. Hanya saja, di beberapa orang yang memilih sendiri bisa jadi karena lebih nyaman ketika melakukan apa saja tanpa perlu berdiskusi. 

Setiap pilihan ada konsekuensi bawaannya. Konsekuensi ini bisa datang dalam berbagai rupa. Dan, mereka dipastikan akan datang semuanya. Yang bentuknya negatif, ataupun positif. 

Seperti pilihan memilih sendiri ini yang menjanjikan kebebasan dan merdeka atas pilihan, juga akan datang padanya kesepian yang mencekam. Tidak ada pilihan lain, selain menerima semua hal yang datang. Sama halnya rasa bebas yang diagungkan itu, kesepian juga harus diresapi dan ditemani oleh diriku sendiri. 

Tidak mudah untuk meresapi dan menemani kesepian, tapi setiap pilihan ada konsekuensi bawaannya. Aku hanya perlu memilih pilihan yang konsekuensinya mampu kamu jalani. Jadi, apabila aku sedang kesepian, tidak ada pilihan lain. Aku hanya perlu meresapi dan menemani kesepian-ku. 

 

Merangkul kesedihan

Photo by Alexander Mass on Unsplash

Tidak ada yang bisa mengatur perasaan. Seperti halnya cinta yang tidak pernah bisa memilih pada siapa dia jatuh. Tapi, mencintai dan mengejarnya adalah pilihan berani yang bisa dilakukan dengan segala usaha dan waktu. 

Tidak ada yang bisa mengatur perasaan. Seperti halnya sedih yang tidak pernah bisa memilih kapan dia datang. Tapi, bersedih dan meratapinya adalah pilihan sadar yang perlu diperjuangkan agar tidak membelenggu dan menenggelamkan kesadaran.

Kesedihan datang tidak pernah mengetuk pintu. Sepertinya dia tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ayah ataupun ibunya. Kesedihan kadang datang membawa alasan yang mudah dibaca. Adakalanya, dia datang tanpa pesan yang bisa diartikan. Terkesan datang hanya untuk keisengan semata. 

Masalahnya, yang diisengi ini adalah hati. Yang iseng ini adalah kesedihan. Harus seperti apa menghadapi keadaan seperti ini? 

Tidak pernah ada guru pelajaran yang mengajarkan cara menyelesaikan tersebut, bukan? 

Matematika mengajarkan mencari nilai x, Fisika mengajarkan mencari nilai gaya dorong, Kimia mengajarkan meracik larutan. Diantaranya tidak ditemukan kata "kesedihan". 

Kelak, bersama usia yang terus bertambah, dan kematian yang tidak pernah tahu kapan datangnya. Pada diri masing-masing akan punya cara unik dalam mencari nilai dan meracik kesedihan. Pada masanya, kita akan belajar secara mandiri cara merangkul kesedihan. 

Bagiku, merangkul kesedihan adalah membiarkannya menetap untuk beberapa saat. Dan, tidak memaksa diri sendiri membaca jelas alasan kedatangannya. Tidak semua hal harus ada jawabannya. Tidak semua hal harus ada alasannya. Terkadang, hal paling baik untuk dilakukan hanya menerima ketidak tahuan akan jawaban yang ada. 

Bagiku, merangkul kesedihan adalah membawanya pada cerita-cerita tanpa arah. Membiarkan setiap kata yang muncul, merangkai menjadi kalimat. Entah itu bisa dimengerti, atau akan menjadi bentuk kalimat tanpa isi. Tidak ada tujuan. Hanya bentuk merangkul kesedihan.

Aku sedang menikmati kesendirian, meresapi kesepian, dan merangkul kesedihan. 

Selamat malam, untukmu. 

Yang sedang menjalani hidup-hidup baru  

Posting Komentar

0 Komentar